Senin, 01 Februari 2016

CERIGAY-DIGILIR OLEH BAPAK-BAPAK DI POS RONDA

namaku Pandu
Sebut saja namaku Pandu, usiaku 21 tahun dan tubuhku agak tambun. Demam piala dunia sudah berlalu, namun aku memiliki sebuah cerita dewasa yang tidak begitu saja aku bisa lupakan. Kuakui memang diriku ini yang selalu merindukan dekapan para pria disetiap hasrat seksku yang lagi tinggi.
Seperti biasa, hari itu aku pulang dari kantor tepat jam 5 sore. Setibanya di rumah, aku langsung menuju kamar tidurku lalu ...bersiap-siap untuk mandi kemudian makan malam.
Setelah selesai makan, aku segera keluar dari kamar tidur dan menuju ruang TV. Aku sempat bingung karena di ruang TV aku hanya Pak Maman tukang kebun di rumah.

“Pak, Ayah nggak ada di rumah ya?” tanyaku.
“Ada di kamar kok, Den..…” jawab Pak Maman.
“Kok tumben sih?” timpalku.

Pak Maman hanya tersenyum.

“Ngantuk kali!” jawab Pak Maman.

Tak lama setelah aku duduk di sofa ruang TV, pertandingan pun dimulai. Sebenarnya aku bukanlah penggemar fanatik sepakbola seperti Ayah dan Pak Maman. Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar rumahku saja. Malam itu aku memakai kaos singlet dan celana boxer ketat berwarna hitam. Karena tadinya aku tidak berniat untuk keluar rumah; pikirku hanya keluar sebentar dan tidak akan jauh-jauh dari rumah. Setelah menutup pintu depan dan gerbang, aku pun mulai berkeliling di daerah sekitar rumahku.

“Kok tumben ya sepi banget? Pasti karena lagi ada bola deh…” pikirku.

Karena tidak biasanya di daerah rumahku yang masih terhitung daerah ‘perkampungan’ sudah terlihat sepi pada pukul 10 malam. Tanpa terasa cukup jauh juga aku berjalan dari rumahku hingga akhirnya aku sampai di sebuah pos jaga. Dari kejauhan aku dapat melihat ada 4 orang Bapak-Bapak di dalam pos jaga tersebut. Karena penasaran, aku kemudian berjalan mendekati pos jaga yang hanya diterangi oleh pencahayaan seadanya. Ukurannya juga memang tidak terlalu besar, namun dapat untuk menampung hingga 5-6 orang dewasa.

‘Tok… Tok… Tok…’

Aku mengetuk tiang pos jaga tersebut dengan cukup kencang supaya Bapak-Bapak itu dapat mendengar ketukanku.

“Permisi Bapak-Bapak…” kataku sopan sambil berdiri di depan pintu.
“Eeh…..Dek Pandu…” jawab seorang Bapak yang posisi duduknya paling dekat pintu.

Pak Wawan
Akhirnya aku dapat mengenali siapa saja yang sedang berada di pos jaga tersebut. Bapak yang duduk paling ujung bernama Pak Wawan, orangnya botak dan gendut tapi terkenal dengan keramahannya. Di sebelahnya bernama Pak Diman, berbadan besar, berkulit hitam serta wajahnya menurutku sangat jelek apalagi kepalanya ditumbuhi dengan rambut penuh uban. Lalu ada Pak Jono, berkulit hitam dan memiliki badan paling kurus dibandingkan dengan yang lainnya. Dan yang terakhir, bernama Pak Bara, kumisnya yang tebal menambah kegarangan wajahnya yang sangar. Aku maklum saja, karena dulu Pak Bara adalah preman di daerah sini.

Mereka semua adalah tetanggaku yang kutaksir usianya kira-kira sama dengan ayahku.

“Dik Pandu ngapain malem-malem keluar rumah?” sapa Pak Wawan.
“Jalan-jalan aja Pak. Abis gerah banget di rumah…” aku mengatakan hal tersebut sambil mengibas-ngibaskan leher bajuku.
“Emangnya Dik Pandu nggak takut keluar rumah malem-malem gini?” tanya Pak Bara.
“Kan ada Bapak-Bapak. Jadi saya bisa tenang deh…” jawabku sambil tersenyum.

“Oh iya Bapak-Bapak. Saya boleh ikutan nonton bola bareng-bareng nggak?” tanyaku. “Emangnya Dik Pandu suka bola juga ya?” tanya Pak Diman.
“Lumayan suka nonton juga sih.…” jelasku kepada Pak Diman.
“Oh Gitu? Ya udah nonton bareng-bareng aja sama kita di sini. Saya mah seneng banget kalo Dik Pandu mau nemenin kita-kita nonton bola. Betul kan Bapak-Bapak?” balas Pak Wawan dengan tersenyum lebar sehingga menunjukkan giginya yang tak terawat.
“Betul!!” Jawab Bapak-Bapak yang lain dengan serempak.

Pak Diman
Aku hanya bisa tersenyum menahan geli mendengar jawaban dari Bapak-Bapak ini. Karena merasa akan lebih seru menonton pertandingan dengan mereka, tanpa pikir panjang lagi aku pun masuk ke dalam pos jaga lalu mengambil posisi duduk di atas tikar tepat di tengah-tengah mereka. Aku pun menonton bola bersama Bapak-Bapak tersebut sambil makan kacang tanpa memikirkan bahwa kacang dapat menumbuhkan jerawat pada kulit wajahku.
Di saat sedang menonton bola, aku merasa Pak Wawan tak henti-hentinya mencuri pandang ke arah paha mulusku. Entah kenapa saat itu sempat terlintas di pikiranku untuk menggoda Bapak-Bapak tersebut. Mungkin karena selama ini aku belum pernah sekalipun melakukan persetubuhan dengan orang yang lebih dewasa. Aku pun berpura-pura mengantuk lalu menyenderkan badanku pada dinding pos jaga. Aku menutup mata supaya Bapak-Bapak itu dapat merasa lebih leluasa untuk menggerayangiku apabila aku sedang tertidur lelap. Seperti dugaanku, setelah aku pura-pura tertidur pulas, aku merasakan tanganku diangkat ke atas oleh salah seorang dari mereka, lalu orang tersebut memegangi pergelangan tanganku dengan cukup kencang.

“Umpanku udah mulai mengena nih…” kataku dalam hati.
“Eh mau ngapain kamu, Wan ?” tanya Pak Jono ke Pak Wawan.
“Dingin-dingin gini enaknya ml mumpung ada lobang nih…..” jawab Pak Wawan.
“Hus….jangan ngaco loe.” timpal Pak Bara.
“Gua serius, elu pada blom pernah ya ngerasain lobang pantat.” Jawan Pak Wawan sambil tersenyum.
“Emang enak….??” Tanya Pak Jono, Pak Bara, Pak Diman serentak.
“Gak kalah sama lobang vagina.” timpal Pak Wawan.
“Eh, tutup dulu pintunya biar aman…” kata Pak Diman.

Pak Bara
Walaupun mataku tertutup, aku dapat mengetahui bahwa suara tadi adalah milik Pak Diman. Tak lama setelah aku mendengar suara pintu pos jaga ditutup, aku merasakan ada sebuah tangan mulai meraba-raba pahaku yang kemudian disusul oleh sebuah tangan yang besar dan kasar menyusup masuk ke dalam bajuku lalu meremas-remas kedua tete-ku sekaligus memainkan putingnya. Mungkin karena melihat aku tetap tertidur, perlahan-lahan tangan yang tadinya meraba-raba pahaku mulai merambat ke atas hingga sampai ke tete-ku. Aku bahkan dapat mendengar suara nafas mereka yang semakin memburu. Tampaknya mereka sudah terbakar nafsu. Aku sendiri berusaha keras meredam gairahku yang mulai naik.

“Eeeeeennggh…” aku akhirnya mengeluarkan desahan lembut menggoda ketika merasakan dua buah tangan secara bersamaan memainkan puting tete-ku. Sementara itu aku merasakan ada yang sepasang tangan lain yang menarik celana boxer dan juga celana dalamku.

“Loe lihat lobang pantat Dik Pandu ini masih sempit dan ada jembutnya dikit…” terdengar suara berbisik di bawah sana.

Tiba tiba perasaanku seperti tersengat ketika dengan perlahan jari-jari tangan tersebut menyentuh dan menyolok-nyolok liang anusku yang sudah tidak tertutup apapun. Jari-jari tadi mulai merayap masuk dan menyentuh lubang anusku. Lalu aku merasakan benda tumpul dan basah, yang kuduga itu adalah sebuah lidah, mulai menyentuh lubang pantatku. Saat itulah aku pura-pura mulai tersadar lalu membuka kedua mataku.

Pak Jono
“Aaahh… Paak… Ja-jangan!! Jaaangaa… Mmmmmhhh…!!!” kataku terputus karena tiba-tiba mulutku dibekap oleh seseorang yang tadi ada di belakangku. Aku pura-pura meronta agar tidak terlihat seperti aku yang menginginkannya. Rupanya Pak Diman dan Pak Jono yang memainkan kedua putting tete-ku, sedangkan Pak Bara asyik menikmati lubang anusku dengan lidahnya. “Pantes aja ada rasa gelinya…” pikirku dalam hati karena kumis Pak Bara terus menggesek-gesek bibir disekitar lubang anusku sehingga menimbulkan sensasi yang berbeda. Akhirnya aku benar-benar larut dalam kenikmatan yang sedang melanda diriku. Pak Diman dan Pak Jono mulai membuka kaosku sehingga kini aku sudah dalam keadaan telanjang bulat.

“Waaaah teteknya Dik Pandu napsuin juga !” komentar Pak Diman yang tepat berada di depan tete kananku.
“Bener Man ! Udah pahanya montok, teteknya napsuin..” tambah Pak Jono ikut mengomentari tete-ku yang terpampang dengan jelas di depan matanya.
“Kalo Bapak lepasin Dik Pandu janji nggak bakal teriak yah…” kata Pak Wawan yang hanya aku jawab dengan anggukan.
Karena yakin sudah menguasaiku, Pak Wawan melepaskan bekapannya pada mulutku sehingga aku merasa sangat lega.

“Aaaaaaaaaaaah….” aku mendesah akibat sentuhan mereka.

Melihat diriku yang sudah pasrah tak berdaya, Pak Diman dan Pak Jono bersorak gembira. Mereka mengerubuti dan mulai menggerayangi tubuhku. Pak Diman dan Pak Jono meremas-remas kedua tete-ku dengan brutal sehingga membuat tubuhku merasa panas dingin. Tidak cukup puas hanya meremas-remas buah dadaku saja, Pak Diman kemudian menghisap putingku yang sebelah kanan, sedangkan Pak Jono mengenyot puting bagian kiriku.

“Teteknya Dik Pandu emang manteb banget dah!!” ujar Pak Diman.

Kelihatannya Pak Bara sama sekali tidak tertarik dengan apa yang dilakukan oleh teman-temannya terhadap tubuhku. Dia masih terlihat menikmati lubang anusku hingga lidahnya dimasukkan kedalam anusku lalu melakukan jilatan-jilatan dan menyedotnya. Tubuhku menggelinjang merasakan birahi yang memuncak karena merasa geli sekaligus nikmat di bawah sana. Tanganku sambil mengocok penisku sendiri.

“Lobang anus Dik Pandu sempit dan wangi deh!! Beda banget sama bini saya…” kata Pak Bara di sela-sela menikmati anusku.
“Oooooooh… Aaaaaaahhh… Enaaaaakkk…” aku mengerang-erang keenakan.

Sekarang Pak Diman, Pak Jono dan Pak Bara sudah mendapat jatah mereka masing-masing. Pak Wawan sepertinya juga tidak mau ketinggalan, dia mulai mencium dan menjilati perutku; semakin yang menggiurkan karena basah oleh keringat. Setelah Pak Wawan puas menjilat perutku, dia menarik tanganku lalu dikulumnya penisku dengan kuat dan cepat. Dengan penuh nafsu Pak Wawan memegang batang kemaluanku dan langsung mencumbu serta menjilat lubang  perkencinganku, sehingga aku gelagapan.

“Aaahhh………oooo…..” teriakku pelan.
“Eeeeeemmmmmhhh…. Eeeeehhhmmm…” erangku ketika mulai dikeroyok mereka berempat.

Kini, tubuhku sudah seperti boneka bagi mereka, karena mereka bisa berbuat sesuka hati terhadap tubuhku. Mereka menikmati jatah mereka dengan penuh nafsu. Pak Diman dan Pak Jono terus menjilati kedua puting tete-ku serta menggigit kecil kedua putingku yang sudah menegang itu. Pak Wawan terus menerus memainkan lidahnya di penisku. Dikerubuti dan dirangsang sedemikan rupa membuat aku merasakan gejolak yang luar biasa melanda tubuhku tanpa bisa kukendalikan.

“Ooooh… Aaaaaaah… Nngggg… Aaaaagh…” aku mengerang dan menjerit keenakan.

Pak Bara kini semakin membenamkan kepalanya di antara kedua pahaku, dan karena agak geli akupun merapatkan kedua pahaku sehingga kepala Pak Bara terhimpit oleh kedua paha mulusku.

“Enak ya Dik Pandu… Sluuuurrpp… dijilatin Bapak? Eehmmm… Sluuurrp…” tanya Pak Bara tanpa menghentikan jilatan dan hisapannya pada liang anusku.
“Eeeeenak bangeeeet Paaak…!!” aku terus mendesah nikmat.

Terus-terusan menerima serangan birahi secara bersamaan dari 4 orang pria yang berbeda pada daerah sensitifku, aku jadi tidak kuat menahan lama-lama sehingga dalam waktu kurang dari 10 menit tubuhku sudah seperti tersengat arus listrik yang menandakan kalau sebentar lagi aku akan mencapai orgasme.

“Paaak Wawan… Saayaaaa mauuu keluaaaarr!! Aaaaaaaaaaaah….!!!” aku berteriak dengan kencang.

Tidak lama kemudian cairan pejuku mencrat di dalam mulut Pak Wawan.

Crooot….crooottt…..

“Peju kamu asin dan gurih…..” puji Pak Wawan.

Pak Bara yang berada tepat di depan lubang anusku semakin liar menjilati dan sesekalo memasukkan jari telunjuk dan jari tengahnya ke dalam anusku.

‘Slurrpp… Sluurrrpp…’ spermaku yang mengalir dengan deras dilahap oleh Pak Wawan dengan rakus.

Setelah cairanku sudah hampir habis, ke 3 bapak yang tadi masih sibuk dengan bagiannya masing-masing langsung menghentikan aktivitas mereka, kemudian mendekat ke arah liang anusku.

“Mmmmmmhhhh…” desahku menerima jilatan demi jilatan.
“Sekarang Bapak-Bapak mau masukin penisnya ke dalam sini nggak?” aku bertanya sambil menunjuk lobang pantatku.
“Mau banget dong Dik!!” jawab Pak Jono semangat.
“Beneran nih nggak apa-apa kalo kita entotin Dik Pandu rame-rame?” tanya Pak Bara dengan wajah tidak percaya.
“Beneran kok Pak! Masa saya bercanda sih…” jawabku serius.
“Wah Bapak-Bapak!! Yang punya udah ngebolehin tuh!!” kata Pak Jono dengan wajah senang sekaligus keheranan mendengar jawabanku barusan.

Tentu saja mereka semua tidak menyia-nyiakan kesempatan di depan mata. Mereka semua langsung membuka baju dengan terburu-buru. Mereka pasti sudah sangat tidak sabar ingin merasakan kehangatan tubuhku yang sudah kupasrahkan untuk mereka berempat. Sekarang ke 4 Bapak-Bapak ini sudah dalam keadaan telanjang bulat dengan penis mengacung tegak.

“Gede-gede banget!!” kataku dalam hati.

Tentu saja aku kaget dengan ukuran penis milik Bapak-Bapak ini yang tidak begitu panjang namun diameternya rata-rata sangat besar. Aku juga masih sempat memperhatikan, betapa kulit ke 4 Bapak ini hitam dan kasar bila dibandingkan dengan kulitku yang sawo matang dan mulus.

“Dik Pandu pasti bakal keenakan dientot sama kita-kita…” kata Pak Diman kepadaku.

Tadinya aku sempat merasa ngeri memikirkan Bapak-Bapak yang memiliki tubuh besar ini akan menjarah habis tubuhku. Namun ternyata membayangkan semua itu malah membuat aku terangsang hebat dan gairahku naik tak terkendali. Aku tanpa sadar menanti dan berharap mereka akan memberikanku kenikmatan melebihi yang baru saja melandaku.

“Siapa yang bakal duluan ngentotin Dik Pandu ?” tanya Pak Jono kepada teman-temannya. “Gue dulu deh!! Napsu gue udah di ubun-ubun nih!!” teriak Pak Wawan yang nampaknya sudah sangat tidak sabaran lagi untuk bisa menyetubuhiku.
“Enak aja! Gue dulu dong !!!” teriak Pak Diman tidak mau kalah.

Seperti kumpulan anak kecil yang sedang berebut mainan, mereka semua tidak mau kalah ingin menjadi yang pertama kali mencobloskan penis mereka ke dalam anusku yang masih sangat sempit; napsu mereka sudah memuncak.

“Udah dong Bapak-Bapak jangan pada rebutan gitu!!” kataku dengan nada kesal.
“Iya deh kami semua nggak bakal berebut lagi…” jawab Pak Wawan.
“Ya udah biar adil gimana kalau saya aja yang milih?” tanyaku.
“Boleh juga idenya Dik Pandu tuh!” kata Pak Jono.

 Aku melihat ke arah penis mereka berempat dan aku menemukan kalau penis Pak Wawan adalah yang paling besar di antara yang lain, hitam serta dipenuhi urat-urat menonjol. Maka aku memilih penis Pak Wawan untuk menjebolkan liang anusku yang sempit, lalu aku memilih penis milik Pak Bara yang tidak kalah besar untuk aku hisap.

“Ayo ke sini Dik Pandu…” ajak Pak Wawan yang sudah terlentang di atas tikar.

Tanpa perlu disuruh lagi, aku mendekati Pak Wawan yang sudah kelihatan bernafsu sekali melihat tubuhku yang tambun yang terlihat seksi karena penuh dengan keringat, tidak hanya karena udara di dalam yang memang gerah, namun juga karena perlakuan mereka terhadapku tadi. Kemudian aku naik ke atas tubuh Pak Wawan lalu membimbing penisnya untuk masuk ke dalam anusku.
“Saya masukin penis Bapak pelan-pelan dulu ya…” aku berkata kepada Pak Wawan.

Pak Wawan hanya menganguk sambil tersenyum memandangi diriku. Karena ini adalah pertama kalinya anusku dimasuki oleh penis berukuran besar, maka penis Pak Wawan hanya dapat masuk sebagian saja. Walaupun baru menancap setengahnya, batang penis Pak Wawan itu membuat liang anusku terasa begitu sesaknya. Urat-urat pada batang penis itu berdenyut denyut menambah sensasi yang kurasakan.

“Aaaaaaah… lobangnya sempit banget!! Untung banget gue bisa ngentot sama Dik Pandu !.... Eemmhh… Ooohh…” komentar Pak Bara.
“Oooooohhh… Aaaaaahhhh… Enaaaakkk bangeeeet Paaak…” erangku karena tidak kuat merasakan sensasi luar biasa yang ditimbulkan dari tusukan penis Pak Wawan pada anusku.

Pak Wawan membiarkanku agar terbiasa dengan ukuran penisnya. Namun tetap saja penisnya belum dapat masuk semuanya ke dalam anusku. Untungnya anusku tidak terasa perih sehingga aku dapat menikmatinya. Di saat yang bersamaan Pak Wawan juga menjilati tete-ku dan menggesek-gesekkan kumisnya ke putingku yang membuat birahiku semakin memuncak.

“Aaaaaaaaaahhhh…” aku semakin mendesah menerima sodokan penis sekaligus jilatan pada tete-ku.

Di tengah-tengah persetubuhanku dengan Pak Wawan, aku masih sempat melihat Pak Jono dan Pak Diman sedang mengocok penis mereka sendiri. Sepertinya mereka berdua sudah sangat terangsang melihat pemandangan menggiurkan di depan mereka sekaligus tidak sabar ingin mencicipi tubuhku.

“Sepongin penis Bapak dong Dik…..daripada mulutnya nganggur” tiba-tiba Pak Bara berdiri di hadapanku dengan senyum yang memuakkan sambil mengarahkan penisnya ke arah wajahku. Dengan tidak sabaran, Pak Bara menjejali mulutku dengan penisnya, penis itu ditekan-tekankan ke dalam mulutku hingga wajahku hampir terbenam pada bulu-bulu kemaluannya. Aku cukup bisa menikmati menghisap penisnya, walaupun baunya sungguh tidak enak. Kedua buah zakarnya juga aku pijati dengan tanganku.

“Gilaaaa!! Maanteebb banget sepongan Dik Pandu !!!” ceracau Pak Bara.

Aku pun menelan penis Pak Bara hingga menyentuh daging lunak di tenggorokanku. Pemiliknya semakin mendesah tidak karuan menikmati service mulutku. Setelah beberapa menit kumainkan di dalam mulutku, penis Pak Bara mulai berkedut-kedut, lalu tidak lama kemudian Pak Bara akhirnya ejakulasi di mulutku.

“Aaaaaaaarrrgh… Oooooooooh…” Pak Bara melenguh panjang dan meremas-remas rambutku saat aku menelan semua spermanya tanpa ingin menyisakan sedikitpun.
“Eeeeemmmm…” aku menikmati sperma milik Pak Bara yang keluar sangat banyak .
“Dik Pandu cakep-cakep doyan minum peju!! Hahaha…” komentar Pak Jono sambil tertawa melihatku dengan rakus membersihkan penis Pak Bara dengan mulutku.
“Kirain Dik Pandu, anak alim! Taunya liar juga yah…!!” Pak Diman juga ikut berkomentar.

Aku benar-benar larut di dalam pesta seks ini dan sudah tidak peduli lagi bahwa di mata mereka aku sudah berubah dari anak yang alim menjadi seperti PSK murahan.

“Sepongan Dik Pandu emang hebaaat bangeeet!!” komentar Pak Bara yang sedang menunggu penisnya menyemburkan sperma ke dalam mulutku hingga tetes terakhir. Tergiur dengan apa yang aku lakukan terhadap penis Pak Bara, tak lama kemudian Pak Jono dan Pak Diman langsung mendekat dan berjalan ke depanku lalu mereka menyodorkan penis mereka masing-masing ke arah wajahku. Tanpa ragu lagi, aku mengocok penis Pak Jono dan mengulum penis Pak Diman secara bersamaan.

“Aaaaaaaahhh… terrruusss Dik Panduuu !” desah Pak Diman ketika aku mengemut kepala penisnya serta menyentil-nyentilkan lidahku ke lubang kencingnya.

Sekarang aku bergantian memaju-mundurkan batang kejantanan Pak Diman dengan tanganku secara perlahan, sementara mulutku menghisap penis Pak Jono.

“Aduuuh… E-enak banget Dik!! Aaaaaaah…” kata Pak Jono dengan bergetar.

Mungkin karena aku sudah lama tidak menerima serangan sekaligus seperti ini, aku pun cepat mencapai orgasme hanya dalam waktu kurang dari 10 menit.

“Ooooooooohh… Aaaaaaggggh…” sambil melepas sebentar hisapanku pada penis Pak Jono aku pun mengerang panjang karena tidak tahan dengan nikmat yang mendera.

Kini penis Pak Wawan dapat amblas sepenuhnya masuk dalam anusku.

Pok….pok…pok….Pak Wawan terus memompa penisnya kuat-kuat dan cepat.

Penis itu terasa seperti sedang menyodok sangat dalam di anusku. Aku hanya bisa mengerang tanpa berani menggeliat, walaupun aku merasakan sakit yang bercampur nikmat.

“Oooh sempit bangeeet Dik!! Enaknyaaa… Aaaaaaah…” Pak Wawan mulai meracau sambil terus memompa penisnya.

Untung saja aku masih bisa mengimbangi kekuatan Pak Wawan walaupun sudah mengalami 2 kali orgasme. Sementara itu, Pak Diman dan Pak Jono menarik penis mereka dari mulutku karena mereka tidak ingin keluar cepat-cepat.

“Mmmmhhhh… Aaaaaaaaahhhh…!!!” aku mengeluarkan desahan yang sempat tertahan karena tadi mulutku penuh dengan penis. Akhirnya 5 menit setelah aku mencapai orgasmeku yang kedua tadi, aku merasakan penis Pak Wawan yang masih berada di dalam anusku mulai berdenyut-denyut menandakan kalau Pak Wawan akan mencapai orgasme. Pak Wawan mempercepat sodokan penisnya terhadap anusku yang membuatku merasa sedikit perih karena penis besarnya itu keluar masuk dengan cepat dan kuat padahal lubang asnusku masih sangat sempit. Namun setelah terbiasa akhirnya aku menemukan rasa nikmat dibalik rasa perih itu.

“Aaaaahhhh… Dik Panduuuu ! Bapaaakkk… Keluuaarrrr!!!” teriak Pak Wawan.
“Keluariiiin di dalem aja Pak…!! Aaaaaaaaah…” pintaku dengan lirih.

Dan tak lama kemudian, Pak Wawan sudah menyemburkan spermanya yang hangat ke dalam anusku, lalu nafas Pak Wawan tersengal-sengal sehingga dia memutuskan untuk menghisap-hisap tete-ku dengan mulutnya sambil menunggu penisnya memuntahkan semua isinya ke dalam anusku. Baru sekitar 2 menit aku mengatur nafas dan tenagaku untuk menghadapi Pak Diman dan Pak Jono, ternyata Pak Wawan mau aku bersimpuh di hadapannya lalu bertumpu dengan kedua lututku. Aku yang sudah mengerti maksud Pak Wawan, langsung mengambil penisnya yang masih berlumuran spermanya dan juga bau khas anusku, kemudian membersihkan penis Pak Wawan hingga spermanya tak bersisa lagi.

“Pak, saya udah bersihin penis Bapak sampe nggak ada sisanya nih. Sekarang saya main sama Pak Jono dan Pak Diman dulu ya…” kataku kepada Pak Wawan.
“Makasih ya Dik Pandu. Ya udah Bapak juga mau istirahat dulu…” jawab Pak Wawan.
“Heh, Wan!! Kalo mau ngobrol entar aja!! Gue udah kebelet pengen ngentot Dik Pandu nih!!” teriak Pak Jono.
“Ya udah. Sekarang gantian elo yang ngentot sana! Gue juga mau istirahat dulu…” kata Pak Wawan cuek sambil memakai kembali celana dan bajunya.
“Sekarang Dik Pandu ambil posisi tiduran…” perintah Pak Jono.

Kali ini giliran aku yang mengambil posisi terlentang di atas tikar. Aku menekuk kedua kakiku lalu melebarkannya bersiap disetubuhi oleh Pak Jono dan Pak Diman. Kedua Bapak itu pun memandangi liang anusku yang masih rapat dengan wajah penuh birahi. Mungkin karena sebelumnya sudah ada kesepakatan antara Pak Diman dengan Pak Jono, maka Pak Diman-lah yang mengambil giliran selanjutnya untuk menyetubuhiku. Tanpa basa-basi lagi, Pak Diman segera menyergap dan menindih tubuhku. Dengan penuh nafsu Pak Diman menjejalkan penisnya yang amat besar itu ke dalam anusku. Aku terbeliak, merasakan kembali sesaknya vaginaku. Karena anusku sudah banjir dengan sperma Pak Wawan, maka penis milik Pak Diman yang berukuran besar dapat dengan mudah masuk ke dalam anusku. Kini anusku sudah dimasuki oleh penis yang berukuran besar untuk kedua kalinya. Namun aku sungguh menikmatinya dengan penuh penghayatan sampai-sampai dengan tidak sadar, aku menutup mataku.

“Oooh… lobang pantat Dik Pandu enaaak bangeeet!! Kontol gue kayak diurut-urut!!” erang Pak Diman.

Penis itu terasa menyodok anusku dangat dalam. Aku hanya bisa mengerang tanpa berani menggeliat, walaupun aku merasakan sakit yang bercampur nikmat. Tanpa sadar, kakiku melingkari pinggang Pak Diman, seakan tak ingin penisnya terlepas.

“Aaaaaahhh… Oooooohh… Mmmmhhhhhhhh…” desahku karena tidak bisa menahan rasa nikmat yang menyerangku.

Karena tidak sabar menunggu, Pak Jono mulai menaruh penisnya di depan mulutku yang masih belepotan sperma dari Pak Wawan dan juga Pak Bara. Tanpa malu-malu lagi aku memegang penis yang sudah sangat tegang itu dan segera membenamkannya ke dalam mulutku. Kemudian aku mulai mengulum penis Pak Jono yang hanya masuk sebagian hingga pipiku terlihat cekung ke dalam. Aku sempat melirik ke arah Pak Wawan dan Pak Bara sudah duduk memakai celana panjang mereka sambil menghisap rokok dan meminum kopi dengan tontonan mereka yang lebih seru dari cara TV, yaitu aku yang sedang dikerubuti oleh dua orang lelaki berkulit hitam alias Pak Diman dan Pak Jono.

Baru beberapa menit aku melakukan oral seks Pak Jono……………….

“Dik Panduuu! Bapaaak keluaaaar… Oooooh… Enaaak…” ‘Croot… Crooot… Croooot’ semburan hangat sperma Pak Jono pun keluar di dalam mulutku hingga membasahi kerongkongan.

Seperti sudah ketagihan, aku terus melahap, menjilati dan mengulum penis itu hingga bersih dari sisa-sisa sperma yang masih menetes.

“Lho kok Pak Jono udah keluar aja? Masa kalah sama sepongannya Dik Pandu ? Gimana kalo sama memeknya yang seret Pak…” kata Pak Bara dengan nada sedikit mengejek disambung tawa Pak Wawan yang duduk di sebelahnya.

Pak Jono hanya tersenyum malu tanpa berkata apa-apa. Sementara itu Pak Diman masih terus menggenjot penisnya ke dalam anusku dengan sangat perlahan dan mencabutnya dengan cepat. Saat itu yang terdengar hanyalah suara pompaan penis serta suara desahan nafasku dan Pak Diman yang saling memburu. Sodokan demi sodokan Pak Diman benar-benar luar biasa, seolah memompa gairahku.

“Sa-sayaaa mau keluaaaar Dik…!!” erang Pak Diman ketika memuntahkan lahar putihnya di dalam anusku.

Dalam anusku kini terasa hangat oleh semburan sperma milik Pak Diman. Kini daerah sekitar liang anusku yang sudah basah semakin banjir saja oleh sperma, sampai-sampai cairan itu meleleh di kedua pahaku.

“Eeeeemmhhhh…” nafasku tersengal-sengal.

Begitu juga dengan Pak Diman dan Pak Jono yang sudah menuntaskan nafsu setan mereka kepadaku. Sambil mengatur nafas, Pak Jono menciumi tengkuk leherku dengan lembut sedangkan Pak Diman yang tadinya ingin melumat bibirku, namun aku menolaknya karena aku mau mengatur nafasku dulu, mulai menjilati leherku yang penuh dengan butiran keringat. Setelah nafas kami bertiga sudah normal kembali, mereka berdua berjalan untuk mengambil pakaiannya masing-masing. Sedangkan aku berdiri dan bersiap memakai kaos serta celana boxer-ku yang berserakan di depan TV yang sudah tidak menayangkan acara bola lagi.

“Udah dulu yah Bapak-Bapak. Saya mau pulang dulu…” aku pamit kepada mereka semua yang masih terlihat kelelahan.
“Jangan pulang dulu dong Dik Pandu !” Pak Wawan melarangku pergi sambil memegang tanganku. “Emangnya Bapak-Bapak masih belum puas?” tanyaku.
“Iya!!” jawab mereka hampir bersamaan.
“Tapi kan Bapak-Bapak udah pada lemes kayak gitu. Lagian saya udah capek banget nih…” kataku.
“Bentaran juga udah kuat lagi kok Dik…” kata Pak Bara yang sepertinya masih belum cukup puas karena dia memang belum merasakan bersetubuh denganku.
“Aduh gimana ya? Udah malem banget nih Pak…” aku berusaha mencari alasan untuk menolak permintaan mereka.
“Ayo dong! Dik Pandu mau kan?” pinta Pak Bara memelas.
“Bapak kan juga belom ngerasain ngentot sama Dik Tita…” sambung pak Jono lagi.
 “Ya udah boleh deh. Asal Bapak-Bapak janji nggak akan cerita hal ini sama orang lain ya. Biar jadi rahasia kita berlima aja. Gimana?” tanyaku.
“Yah kalo itu mah nggak usah disuruh Dik! Masak Bapak mau bilang-bilang sih…” jawab Pak Bara menyanggupi.

Karena terlanjur menyanggupi permintaan mereka, aku yang baru mengenakan celana dalamku mulai melepaskannya lagi, hingga kini tubuhku sudah dalam keadaan bugil. Penis milik Pak Bara, Pak Diman, Pak Bara dan Pak Jono yang tadinya sudah dalam keadaan lemas mulai mengeras lagi karena melihat tubuhku yang mulusku yang tidak tertutup sama sekali. Kemudian aku mulai memanggil mereka satu per satu dan membiarkan liang anusku menjadi bulan-bulanan lidah mereka. Bahkan ketika masing-masing sudah mendapatkan jatah untuk mencicipi lobang pantatku, mereka berempat kembali menjilati seluruh tubuhku sehingga berlumuran air liur mereka.

“Mulai lagi yuk Dik..…” pinta Pak Bara tidak sabaran.
 “Silakan Bapak-Bapak nikmatin tubuh saya sepuasnya…” kataku mengijinkan.

Lalu dimulailah pelampiasan nafsu bejat keempat orang pria tua terhadapku. Kali ini aku disetubuhi oleh keempat Bapak-Bapak itu secara bergiliran. Mulai dari Pak Bara, Pak Jono lalu Pak Diman dan yang terakhir oleh Pak Wawan. Mereka juga menikmati tubuhku dengan berbagai posisi. Karena mereka sangat menikmati himpitan pantatku serta teknik oral seks-ku, maka mulai dari anusku, mulut bahkan seluruh tubuhku terus-menerus disemprot sperma oleh mereka berempat. Aku mengalami dua kali mengalami orgasme. Setelah sudah benar-benar kelelahan, kami yang masih dalam keadaan bugil beristirahat sembari minum dan mengobrol.

“Dik, kan dari tadi peju kami semua dikeluarin di dalem. Apa Dik Pandu nggak takut hamil?” tanya Pak Bara yang paling banyak menyemprotkan spermanya di dalam anusku di tengah obrolan kami.

“Aku-kan cowok, Pak…..mana bisa hamil.” kataku sambil tersenyum.
“Emang loe ada-ada aja, Bar….dia-kan cowok mana bisa hamil…” tompal Pak Diman.

Lalu kami berlima ketawa terbahak-bahak………….

“Bapak-Bapak, saya pamit pulang yah. Udah malam banget nih…” ujarku seraya melihat jam di HP-ku yang sudah menunjukkan pukul 12 malam.
“Tapi kapan-kapan Dik Pandu mau nemenin kami lagi kan?” tanya Pak Diman.
“Boleh aja Pak. Asalkan yang lagi jaga Bapak-Bapak berempat…” jawabku sambil memakai kaosku.
“Gampang! Itu mah bisa Bapak atur!” jawab Pak Wawan yang memang bertugas mengatur jadwal jaga.
“Tapi jangan keseringan ya Pak! Lama-lama saya bisa hamil dong…” candaku.
“Pokoknya beres deh Dik!” jawab Pak Bara.
“Ya udah saya pulang dulu ya Bapak-Bapak…” kataku sambil bergegas keluar pos jaga karena takut mereka ingin menikmati tubuhku lagi.
“Hati-hati ya Dik…” kata mereka serempak.

Aku pun langsung berlari kecil menuju rumah karena suasana di sekitar rumahku sudah sangat sepi dan gelap. Di perjalanan pulang aku sempat mengingat kejadian yang baru aku alami adalah pengalaman yang sungguh memuaskan. Pada dasarnya aku memang sangat menikmati seks keroyokan seperti tadi, apalagi ditambah yang menyetubuhiku adalah Bapak-Bapak yang sudah sangat berpengalaman. Setibanya di rumah aku melihat lampu sudah gelap dan tidak terdengar lagi suara TV menyala.

“Sepertinya semuanya udah pada tidur…” kataku dalam hati.


Aku memaklumi karena sekarang sudah lewat tengah malam. Setelah mengunci pintu gerbang dan pintu depan, aku langsung menuju ke kamar mandi untuk membasuh tubuhku yang bermandikan sperma. Setelah selesai berganti pakaian, aku merebahkan tubuhku yang sangat lelah setelah hampir 2 jam dinikmati oleh Bapak-Bapak tadi. Untunglah besok hari Sabtu, sehingga aku bisa istirahat seharian penuh. Tak butuh waktu lama aku pun tertidur dengan pulas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar