![]() |
namaku Pandu |
Sebut saja namaku Pandu,
usiaku 21 tahun dan tubuhku agak tambun. Demam piala dunia sudah berlalu, namun
aku memiliki sebuah cerita dewasa yang tidak begitu saja aku bisa lupakan.
Kuakui memang diriku ini yang selalu merindukan dekapan para pria disetiap
hasrat seksku yang lagi tinggi.
Seperti biasa, hari itu
aku pulang dari kantor tepat jam 5 sore. Setibanya di rumah, aku langsung
menuju kamar tidurku lalu ...bersiap-siap untuk mandi kemudian makan malam.
Setelah selesai makan, aku
segera keluar dari kamar tidur dan menuju ruang TV. Aku sempat bingung karena
di ruang TV aku hanya Pak Maman tukang kebun di rumah.
“Pak, Ayah nggak ada di
rumah ya?” tanyaku.
“Ada di kamar kok, Den..…”
jawab Pak Maman.
“Kok tumben sih?”
timpalku.
Pak Maman hanya tersenyum.
“Ngantuk kali!” jawab Pak
Maman.
Tak lama setelah aku duduk
di sofa ruang TV, pertandingan pun dimulai. Sebenarnya aku bukanlah penggemar
fanatik sepakbola seperti Ayah dan Pak Maman. Akhirnya aku memutuskan untuk
berjalan-jalan di sekitar rumahku saja. Malam itu aku memakai kaos singlet dan celana
boxer ketat berwarna hitam. Karena tadinya aku tidak berniat untuk keluar rumah;
pikirku hanya keluar sebentar dan tidak akan jauh-jauh dari rumah. Setelah
menutup pintu depan dan gerbang, aku pun mulai berkeliling di daerah sekitar
rumahku.
“Kok tumben ya sepi
banget? Pasti karena lagi ada bola deh…” pikirku.
Karena tidak biasanya di
daerah rumahku yang masih terhitung daerah ‘perkampungan’ sudah terlihat sepi
pada pukul 10 malam. Tanpa terasa cukup jauh juga aku berjalan dari rumahku
hingga akhirnya aku sampai di sebuah pos jaga. Dari kejauhan aku dapat melihat
ada 4 orang Bapak-Bapak di dalam pos jaga tersebut. Karena penasaran, aku
kemudian berjalan mendekati pos jaga yang hanya diterangi oleh pencahayaan
seadanya. Ukurannya juga memang tidak terlalu besar, namun dapat untuk
menampung hingga 5-6 orang dewasa.
‘Tok… Tok… Tok…’
Aku mengetuk tiang pos
jaga tersebut dengan cukup kencang supaya Bapak-Bapak itu dapat mendengar
ketukanku.
“Permisi Bapak-Bapak…”
kataku sopan sambil berdiri di depan pintu.
“Eeh…..Dek Pandu…” jawab
seorang Bapak yang posisi duduknya paling dekat pintu.
![]() |
Pak Wawan |
Akhirnya aku dapat
mengenali siapa saja yang sedang berada di pos jaga tersebut. Bapak yang duduk
paling ujung bernama Pak Wawan, orangnya botak dan gendut tapi terkenal dengan
keramahannya. Di sebelahnya bernama Pak Diman, berbadan besar, berkulit hitam
serta wajahnya menurutku sangat jelek apalagi kepalanya ditumbuhi dengan rambut
penuh uban. Lalu ada Pak Jono, berkulit hitam dan memiliki badan paling kurus
dibandingkan dengan yang lainnya. Dan yang terakhir, bernama Pak Bara, kumisnya
yang tebal menambah kegarangan wajahnya yang sangar. Aku maklum saja, karena
dulu Pak Bara adalah preman di daerah sini.
Mereka semua adalah
tetanggaku yang kutaksir usianya kira-kira sama dengan ayahku.
“Dik Pandu ngapain
malem-malem keluar rumah?” sapa Pak Wawan.
“Jalan-jalan aja Pak. Abis
gerah banget di rumah…” aku mengatakan hal tersebut sambil mengibas-ngibaskan
leher bajuku.
“Emangnya Dik Pandu nggak
takut keluar rumah malem-malem gini?” tanya Pak Bara.
“Kan ada Bapak-Bapak. Jadi
saya bisa tenang deh…” jawabku sambil tersenyum.
“Oh iya Bapak-Bapak. Saya
boleh ikutan nonton bola bareng-bareng nggak?” tanyaku. “Emangnya Dik Pandu
suka bola juga ya?” tanya Pak Diman.
“Lumayan suka nonton juga
sih.…” jelasku kepada Pak Diman.
“Oh Gitu? Ya udah nonton
bareng-bareng aja sama kita di sini. Saya mah seneng banget kalo Dik Pandu mau
nemenin kita-kita nonton bola. Betul kan Bapak-Bapak?” balas Pak Wawan dengan
tersenyum lebar sehingga menunjukkan giginya yang tak terawat.
“Betul!!” Jawab
Bapak-Bapak yang lain dengan serempak.
![]() |
Pak Diman |
Aku hanya bisa tersenyum
menahan geli mendengar jawaban dari Bapak-Bapak ini. Karena merasa akan lebih
seru menonton pertandingan dengan mereka, tanpa pikir panjang lagi aku pun
masuk ke dalam pos jaga lalu mengambil posisi duduk di atas tikar tepat di
tengah-tengah mereka. Aku pun menonton bola bersama Bapak-Bapak tersebut sambil
makan kacang tanpa memikirkan bahwa kacang dapat menumbuhkan jerawat pada kulit
wajahku.
Di saat sedang menonton
bola, aku merasa Pak Wawan tak henti-hentinya mencuri pandang ke arah paha
mulusku. Entah kenapa saat itu sempat terlintas di pikiranku untuk menggoda
Bapak-Bapak tersebut. Mungkin karena selama ini aku belum pernah sekalipun
melakukan persetubuhan dengan orang yang lebih dewasa. Aku pun berpura-pura
mengantuk lalu menyenderkan badanku pada dinding pos jaga. Aku menutup mata
supaya Bapak-Bapak itu dapat merasa lebih leluasa untuk menggerayangiku apabila
aku sedang tertidur lelap. Seperti dugaanku, setelah aku pura-pura tertidur
pulas, aku merasakan tanganku diangkat ke atas oleh salah seorang dari mereka,
lalu orang tersebut memegangi pergelangan tanganku dengan cukup kencang.
“Umpanku udah mulai
mengena nih…” kataku dalam hati.
“Eh mau ngapain kamu, Wan
?” tanya Pak Jono ke Pak Wawan.
“Dingin-dingin gini
enaknya ml mumpung ada lobang nih…..” jawab Pak Wawan.
“Hus….jangan ngaco loe.” timpal
Pak Bara.
“Gua serius, elu pada blom
pernah ya ngerasain lobang pantat.” Jawan Pak Wawan sambil tersenyum.
“Emang enak….??” Tanya Pak
Jono, Pak Bara, Pak Diman serentak.
“Gak kalah sama lobang
vagina.” timpal Pak Wawan.
“Eh, tutup dulu pintunya
biar aman…” kata Pak Diman.
![]() |
Pak Bara |
Walaupun mataku tertutup,
aku dapat mengetahui bahwa suara tadi adalah milik Pak Diman. Tak lama setelah
aku mendengar suara pintu pos jaga ditutup, aku merasakan ada sebuah tangan
mulai meraba-raba pahaku yang kemudian disusul oleh sebuah tangan yang besar
dan kasar menyusup masuk ke dalam bajuku lalu meremas-remas kedua tete-ku
sekaligus memainkan putingnya. Mungkin karena melihat aku tetap tertidur,
perlahan-lahan tangan yang tadinya meraba-raba pahaku mulai merambat ke atas
hingga sampai ke tete-ku. Aku bahkan dapat mendengar suara nafas mereka yang
semakin memburu. Tampaknya mereka sudah terbakar nafsu. Aku sendiri berusaha
keras meredam gairahku yang mulai naik.
“Eeeeeennggh…” aku
akhirnya mengeluarkan desahan lembut menggoda ketika merasakan dua buah tangan
secara bersamaan memainkan puting tete-ku. Sementara itu aku merasakan ada yang
sepasang tangan lain yang menarik celana boxer dan juga celana dalamku.
“Loe lihat lobang pantat
Dik Pandu ini masih sempit dan ada jembutnya dikit…” terdengar suara berbisik
di bawah sana.
Tiba tiba perasaanku
seperti tersengat ketika dengan perlahan jari-jari tangan tersebut menyentuh
dan menyolok-nyolok liang anusku yang sudah tidak tertutup apapun. Jari-jari
tadi mulai merayap masuk dan menyentuh lubang anusku. Lalu aku merasakan benda
tumpul dan basah, yang kuduga itu adalah sebuah lidah, mulai menyentuh lubang
pantatku. Saat itulah aku pura-pura mulai tersadar lalu membuka kedua mataku.
![]() |
Pak Jono |
“Aaahh… Paak… Ja-jangan!!
Jaaangaa… Mmmmmhhh…!!!” kataku terputus karena tiba-tiba mulutku dibekap oleh
seseorang yang tadi ada di belakangku. Aku pura-pura meronta agar tidak
terlihat seperti aku yang menginginkannya. Rupanya Pak Diman dan Pak Jono yang
memainkan kedua putting tete-ku, sedangkan Pak Bara asyik menikmati lubang anusku
dengan lidahnya. “Pantes aja ada rasa gelinya…” pikirku dalam hati karena kumis
Pak Bara terus menggesek-gesek bibir disekitar lubang anusku sehingga
menimbulkan sensasi yang berbeda. Akhirnya aku benar-benar larut dalam
kenikmatan yang sedang melanda diriku. Pak Diman dan Pak Jono mulai membuka kaosku
sehingga kini aku sudah dalam keadaan telanjang bulat.
“Waaaah teteknya Dik Pandu
napsuin juga !” komentar Pak Diman yang tepat berada di depan tete kananku.
“Bener Man ! Udah pahanya
montok, teteknya napsuin..” tambah Pak Jono ikut mengomentari tete-ku yang terpampang
dengan jelas di depan matanya.
“Kalo Bapak lepasin Dik Pandu
janji nggak bakal teriak yah…” kata Pak Wawan yang hanya aku jawab dengan
anggukan.
Karena yakin sudah
menguasaiku, Pak Wawan melepaskan bekapannya pada mulutku sehingga aku merasa
sangat lega.
“Aaaaaaaaaaaah….” aku
mendesah akibat sentuhan mereka.
Melihat diriku yang sudah
pasrah tak berdaya, Pak Diman dan Pak Jono bersorak gembira. Mereka mengerubuti
dan mulai menggerayangi tubuhku. Pak Diman dan Pak Jono meremas-remas kedua tete-ku
dengan brutal sehingga membuat tubuhku merasa panas dingin. Tidak cukup puas
hanya meremas-remas buah dadaku saja, Pak Diman kemudian menghisap putingku
yang sebelah kanan, sedangkan Pak Jono mengenyot puting bagian kiriku.
“Teteknya Dik Pandu emang
manteb banget dah!!” ujar Pak Diman.
Kelihatannya Pak Bara sama
sekali tidak tertarik dengan apa yang dilakukan oleh teman-temannya terhadap
tubuhku. Dia masih terlihat menikmati lubang anusku hingga lidahnya dimasukkan
kedalam anusku lalu melakukan jilatan-jilatan dan menyedotnya. Tubuhku
menggelinjang merasakan birahi yang memuncak karena merasa geli sekaligus
nikmat di bawah sana. Tanganku sambil mengocok penisku sendiri.
“Lobang anus Dik Pandu sempit
dan wangi deh!! Beda banget sama bini saya…” kata Pak Bara di sela-sela menikmati
anusku.
“Oooooooh… Aaaaaaahhh…
Enaaaaakkk…” aku mengerang-erang keenakan.
Sekarang Pak Diman, Pak
Jono dan Pak Bara sudah mendapat jatah mereka masing-masing. Pak Wawan
sepertinya juga tidak mau ketinggalan, dia mulai mencium dan menjilati perutku;
semakin yang menggiurkan karena basah oleh keringat. Setelah Pak Wawan puas menjilat
perutku, dia menarik tanganku lalu dikulumnya penisku dengan kuat dan cepat. Dengan
penuh nafsu Pak Wawan memegang batang kemaluanku dan langsung mencumbu serta
menjilat lubang perkencinganku, sehingga
aku gelagapan.
“Aaahhh………oooo…..”
teriakku pelan.
“Eeeeeemmmmmhhh…. Eeeeehhhmmm…”
erangku ketika mulai dikeroyok mereka berempat.
Kini, tubuhku sudah
seperti boneka bagi mereka, karena mereka bisa berbuat sesuka hati terhadap
tubuhku. Mereka menikmati jatah mereka dengan penuh nafsu. Pak Diman dan Pak
Jono terus menjilati kedua puting tete-ku serta menggigit kecil kedua putingku yang
sudah menegang itu. Pak Wawan terus menerus memainkan lidahnya di penisku.
Dikerubuti dan dirangsang sedemikan rupa membuat aku merasakan gejolak yang
luar biasa melanda tubuhku tanpa bisa kukendalikan.
“Ooooh… Aaaaaaah… Nngggg…
Aaaaagh…” aku mengerang dan menjerit keenakan.
Pak Bara kini semakin
membenamkan kepalanya di antara kedua pahaku, dan karena agak geli akupun
merapatkan kedua pahaku sehingga kepala Pak Bara terhimpit oleh kedua paha
mulusku.
“Enak ya Dik Pandu…
Sluuuurrpp… dijilatin Bapak? Eehmmm… Sluuurrp…” tanya Pak Bara tanpa
menghentikan jilatan dan hisapannya pada liang anusku.
“Eeeeenak bangeeeet
Paaak…!!” aku terus mendesah nikmat.
Terus-terusan menerima
serangan birahi secara bersamaan dari 4 orang pria yang berbeda pada daerah
sensitifku, aku jadi tidak kuat menahan lama-lama sehingga dalam waktu kurang
dari 10 menit tubuhku sudah seperti tersengat arus listrik yang menandakan
kalau sebentar lagi aku akan mencapai orgasme.
“Paaak Wawan… Saayaaaa
mauuu keluaaaarr!! Aaaaaaaaaaaah….!!!” aku berteriak dengan kencang.
Tidak lama kemudian cairan
pejuku mencrat di dalam mulut Pak Wawan.
Crooot….crooottt…..
“Peju kamu asin dan gurih…..”
puji Pak Wawan.
Pak Bara yang berada tepat
di depan lubang anusku semakin liar menjilati dan sesekalo memasukkan jari
telunjuk dan jari tengahnya ke dalam anusku.
‘Slurrpp… Sluurrrpp…’ spermaku
yang mengalir dengan deras dilahap oleh Pak Wawan dengan rakus.
Setelah cairanku sudah
hampir habis, ke 3 bapak yang tadi masih sibuk dengan bagiannya masing-masing
langsung menghentikan aktivitas mereka, kemudian mendekat ke arah liang anusku.
“Mmmmmmhhhh…” desahku
menerima jilatan demi jilatan.
“Sekarang Bapak-Bapak mau
masukin penisnya ke dalam sini nggak?” aku bertanya sambil menunjuk lobang
pantatku.
“Mau banget dong Dik!!”
jawab Pak Jono semangat.
“Beneran nih nggak apa-apa
kalo kita entotin Dik Pandu rame-rame?” tanya Pak Bara dengan wajah tidak
percaya.
“Beneran kok Pak! Masa
saya bercanda sih…” jawabku serius.
“Wah Bapak-Bapak!! Yang
punya udah ngebolehin tuh!!” kata Pak Jono dengan wajah senang sekaligus
keheranan mendengar jawabanku barusan.
Tentu saja mereka semua
tidak menyia-nyiakan kesempatan di depan mata. Mereka semua langsung membuka
baju dengan terburu-buru. Mereka pasti sudah sangat tidak sabar ingin merasakan
kehangatan tubuhku yang sudah kupasrahkan untuk mereka berempat. Sekarang ke 4
Bapak-Bapak ini sudah dalam keadaan telanjang bulat dengan penis mengacung
tegak.
“Gede-gede banget!!”
kataku dalam hati.
Tentu saja aku kaget
dengan ukuran penis milik Bapak-Bapak ini yang tidak begitu panjang namun diameternya
rata-rata sangat besar. Aku juga masih sempat memperhatikan, betapa kulit ke 4
Bapak ini hitam dan kasar bila dibandingkan dengan kulitku yang sawo matang dan
mulus.
“Dik Pandu pasti bakal
keenakan dientot sama kita-kita…” kata Pak Diman kepadaku.
Tadinya aku sempat merasa
ngeri memikirkan Bapak-Bapak yang memiliki tubuh besar ini akan menjarah habis
tubuhku. Namun ternyata membayangkan semua itu malah membuat aku terangsang
hebat dan gairahku naik tak terkendali. Aku tanpa sadar menanti dan berharap
mereka akan memberikanku kenikmatan melebihi yang baru saja melandaku.
“Siapa yang bakal duluan
ngentotin Dik Pandu ?” tanya Pak Jono kepada teman-temannya. “Gue dulu deh!!
Napsu gue udah di ubun-ubun nih!!” teriak Pak Wawan yang nampaknya sudah sangat
tidak sabaran lagi untuk bisa menyetubuhiku.
“Enak aja! Gue dulu dong !!!”
teriak Pak Diman tidak mau kalah.
Seperti kumpulan anak
kecil yang sedang berebut mainan, mereka semua tidak mau kalah ingin menjadi
yang pertama kali mencobloskan penis mereka ke dalam anusku yang masih sangat
sempit; napsu mereka sudah memuncak.
“Udah dong Bapak-Bapak
jangan pada rebutan gitu!!” kataku dengan nada kesal.
“Iya deh kami semua nggak
bakal berebut lagi…” jawab Pak Wawan.
“Ya udah biar adil gimana
kalau saya aja yang milih?” tanyaku.
“Boleh juga idenya Dik Pandu
tuh!” kata Pak Jono.
Aku melihat ke arah penis mereka berempat dan
aku menemukan kalau penis Pak Wawan adalah yang paling besar di antara yang
lain, hitam serta dipenuhi urat-urat menonjol. Maka aku memilih penis Pak Wawan
untuk menjebolkan liang anusku yang sempit, lalu aku memilih penis milik Pak
Bara yang tidak kalah besar untuk aku hisap.
“Ayo ke sini Dik Pandu…”
ajak Pak Wawan yang sudah terlentang di atas tikar.
Tanpa perlu disuruh lagi,
aku mendekati Pak Wawan yang sudah kelihatan bernafsu sekali melihat tubuhku
yang tambun yang terlihat seksi karena penuh dengan keringat, tidak hanya
karena udara di dalam yang memang gerah, namun juga karena perlakuan mereka
terhadapku tadi. Kemudian aku naik ke atas tubuh Pak Wawan lalu membimbing
penisnya untuk masuk ke dalam anusku.
“Saya masukin penis Bapak
pelan-pelan dulu ya…” aku berkata kepada Pak Wawan.
Pak Wawan hanya menganguk
sambil tersenyum memandangi diriku. Karena ini adalah pertama kalinya anusku
dimasuki oleh penis berukuran besar, maka penis Pak Wawan hanya dapat masuk
sebagian saja. Walaupun baru menancap setengahnya, batang penis Pak Wawan itu
membuat liang anusku terasa begitu sesaknya. Urat-urat pada batang penis itu
berdenyut denyut menambah sensasi yang kurasakan.
“Aaaaaaah… lobangnya sempit
banget!! Untung banget gue bisa ngentot sama Dik Pandu !.... Eemmhh… Ooohh…”
komentar Pak Bara.
“Oooooohhh… Aaaaaahhhh…
Enaaaakkk bangeeeet Paaak…” erangku karena tidak kuat merasakan sensasi luar
biasa yang ditimbulkan dari tusukan penis Pak Wawan pada anusku.
Pak Wawan membiarkanku
agar terbiasa dengan ukuran penisnya. Namun tetap saja penisnya belum dapat
masuk semuanya ke dalam anusku. Untungnya anusku tidak terasa perih sehingga
aku dapat menikmatinya. Di saat yang bersamaan Pak Wawan juga menjilati tete-ku
dan menggesek-gesekkan kumisnya ke putingku yang membuat birahiku semakin
memuncak.
“Aaaaaaaaaahhhh…” aku
semakin mendesah menerima sodokan penis sekaligus jilatan pada tete-ku.
Di tengah-tengah
persetubuhanku dengan Pak Wawan, aku masih sempat melihat Pak Jono dan Pak
Diman sedang mengocok penis mereka sendiri. Sepertinya mereka berdua sudah
sangat terangsang melihat pemandangan menggiurkan di depan mereka sekaligus
tidak sabar ingin mencicipi tubuhku.
“Sepongin penis Bapak dong
Dik…..daripada mulutnya nganggur” tiba-tiba Pak Bara berdiri di hadapanku
dengan senyum yang memuakkan sambil mengarahkan penisnya ke arah wajahku.
Dengan tidak sabaran, Pak Bara menjejali mulutku dengan penisnya, penis itu
ditekan-tekankan ke dalam mulutku hingga wajahku hampir terbenam pada bulu-bulu
kemaluannya. Aku cukup bisa menikmati menghisap penisnya, walaupun baunya
sungguh tidak enak. Kedua buah zakarnya juga aku pijati dengan tanganku.
“Gilaaaa!! Maanteebb
banget sepongan Dik Pandu !!!” ceracau Pak Bara.
Aku pun menelan penis Pak Bara
hingga menyentuh daging lunak di tenggorokanku. Pemiliknya semakin mendesah
tidak karuan menikmati service mulutku. Setelah beberapa menit kumainkan di
dalam mulutku, penis Pak Bara mulai berkedut-kedut, lalu tidak lama kemudian
Pak Bara akhirnya ejakulasi di mulutku.
“Aaaaaaaarrrgh…
Oooooooooh…” Pak Bara melenguh panjang dan meremas-remas rambutku saat aku
menelan semua spermanya tanpa ingin menyisakan sedikitpun.
“Eeeeemmmm…” aku menikmati
sperma milik Pak Bara yang keluar sangat banyak .
“Dik Pandu cakep-cakep
doyan minum peju!! Hahaha…” komentar Pak Jono sambil tertawa melihatku dengan
rakus membersihkan penis Pak Bara dengan mulutku.
“Kirain Dik Pandu, anak alim!
Taunya liar juga yah…!!” Pak Diman juga ikut berkomentar.
Aku benar-benar larut di
dalam pesta seks ini dan sudah tidak peduli lagi bahwa di mata mereka aku sudah
berubah dari anak yang alim menjadi seperti PSK murahan.
“Sepongan Dik Pandu emang
hebaaat bangeeet!!” komentar Pak Bara yang sedang menunggu penisnya
menyemburkan sperma ke dalam mulutku hingga tetes terakhir. Tergiur dengan apa
yang aku lakukan terhadap penis Pak Bara, tak lama kemudian Pak Jono dan Pak
Diman langsung mendekat dan berjalan ke depanku lalu mereka menyodorkan penis
mereka masing-masing ke arah wajahku. Tanpa ragu lagi, aku mengocok penis Pak
Jono dan mengulum penis Pak Diman secara bersamaan.
“Aaaaaaaahhh… terrruusss
Dik Panduuu !” desah Pak Diman ketika aku mengemut kepala penisnya serta
menyentil-nyentilkan lidahku ke lubang kencingnya.
Sekarang aku bergantian
memaju-mundurkan batang kejantanan Pak Diman dengan tanganku secara perlahan,
sementara mulutku menghisap penis Pak Jono.
“Aduuuh… E-enak banget
Dik!! Aaaaaaah…” kata Pak Jono dengan bergetar.
Mungkin karena aku sudah
lama tidak menerima serangan sekaligus seperti ini, aku pun cepat mencapai
orgasme hanya dalam waktu kurang dari 10 menit.
“Ooooooooohh…
Aaaaaaggggh…” sambil melepas sebentar hisapanku pada penis Pak Jono aku pun
mengerang panjang karena tidak tahan dengan nikmat yang mendera.
Kini penis Pak Wawan dapat
amblas sepenuhnya masuk dalam anusku.
Pok….pok…pok….Pak Wawan
terus memompa penisnya kuat-kuat dan cepat.
Penis itu terasa seperti
sedang menyodok sangat dalam di anusku. Aku hanya bisa mengerang tanpa berani
menggeliat, walaupun aku merasakan sakit yang bercampur nikmat.
“Oooh sempit bangeeet
Dik!! Enaknyaaa… Aaaaaaah…” Pak Wawan mulai meracau sambil terus memompa
penisnya.
Untung saja aku masih bisa
mengimbangi kekuatan Pak Wawan walaupun sudah mengalami 2 kali orgasme.
Sementara itu, Pak Diman dan Pak Jono menarik penis mereka dari mulutku karena
mereka tidak ingin keluar cepat-cepat.
“Mmmmhhhh…
Aaaaaaaaahhhh…!!!” aku mengeluarkan desahan yang sempat tertahan karena tadi
mulutku penuh dengan penis. Akhirnya 5 menit setelah aku mencapai orgasmeku
yang kedua tadi, aku merasakan penis Pak Wawan yang masih berada di dalam anusku
mulai berdenyut-denyut menandakan kalau Pak Wawan akan mencapai orgasme. Pak Wawan
mempercepat sodokan penisnya terhadap anusku yang membuatku merasa sedikit
perih karena penis besarnya itu keluar masuk dengan cepat dan kuat padahal
lubang asnusku masih sangat sempit. Namun setelah terbiasa akhirnya aku
menemukan rasa nikmat dibalik rasa perih itu.
“Aaaaahhhh… Dik Panduuuu !
Bapaaakkk… Keluuaarrrr!!!” teriak Pak Wawan.
“Keluariiiin di dalem aja
Pak…!! Aaaaaaaaah…” pintaku dengan lirih.
Dan tak lama kemudian, Pak
Wawan sudah menyemburkan spermanya yang hangat ke dalam anusku, lalu nafas Pak Wawan
tersengal-sengal sehingga dia memutuskan untuk menghisap-hisap tete-ku dengan
mulutnya sambil menunggu penisnya memuntahkan semua isinya ke dalam anusku. Baru
sekitar 2 menit aku mengatur nafas dan tenagaku untuk menghadapi Pak Diman dan
Pak Jono, ternyata Pak Wawan mau aku bersimpuh di hadapannya lalu bertumpu
dengan kedua lututku. Aku yang sudah mengerti maksud Pak Wawan, langsung
mengambil penisnya yang masih berlumuran spermanya dan juga bau khas anusku,
kemudian membersihkan penis Pak Wawan hingga spermanya tak bersisa lagi.
“Pak, saya udah bersihin
penis Bapak sampe nggak ada sisanya nih. Sekarang saya main sama Pak Jono dan
Pak Diman dulu ya…” kataku kepada Pak Wawan.
“Makasih ya Dik Pandu. Ya
udah Bapak juga mau istirahat dulu…” jawab Pak Wawan.
“Heh, Wan!! Kalo mau
ngobrol entar aja!! Gue udah kebelet pengen ngentot Dik Pandu nih!!” teriak Pak
Jono.
“Ya udah. Sekarang gantian
elo yang ngentot sana! Gue juga mau istirahat dulu…” kata Pak Wawan cuek sambil
memakai kembali celana dan bajunya.
“Sekarang Dik Pandu ambil
posisi tiduran…” perintah Pak Jono.
Kali ini giliran aku yang
mengambil posisi terlentang di atas tikar. Aku menekuk kedua kakiku lalu
melebarkannya bersiap disetubuhi oleh Pak Jono dan Pak Diman. Kedua Bapak itu
pun memandangi liang anusku yang masih rapat dengan wajah penuh birahi. Mungkin
karena sebelumnya sudah ada kesepakatan antara Pak Diman dengan Pak Jono, maka
Pak Diman-lah yang mengambil giliran selanjutnya untuk menyetubuhiku. Tanpa
basa-basi lagi, Pak Diman segera menyergap dan menindih tubuhku. Dengan penuh
nafsu Pak Diman menjejalkan penisnya yang amat besar itu ke dalam anusku. Aku
terbeliak, merasakan kembali sesaknya vaginaku. Karena anusku sudah banjir
dengan sperma Pak Wawan, maka penis milik Pak Diman yang berukuran besar dapat
dengan mudah masuk ke dalam anusku. Kini anusku sudah dimasuki oleh penis yang
berukuran besar untuk kedua kalinya. Namun aku sungguh menikmatinya dengan
penuh penghayatan sampai-sampai dengan tidak sadar, aku menutup mataku.
“Oooh… lobang pantat Dik Pandu
enaaak bangeeet!! Kontol gue kayak diurut-urut!!” erang Pak Diman.
Penis itu terasa menyodok anusku
dangat dalam. Aku hanya bisa mengerang tanpa berani menggeliat, walaupun aku
merasakan sakit yang bercampur nikmat. Tanpa sadar, kakiku melingkari pinggang
Pak Diman, seakan tak ingin penisnya terlepas.
“Aaaaaahhh… Oooooohh…
Mmmmhhhhhhhh…” desahku karena tidak bisa menahan rasa nikmat yang menyerangku.
Karena tidak sabar
menunggu, Pak Jono mulai menaruh penisnya di depan mulutku yang masih belepotan
sperma dari Pak Wawan dan juga Pak Bara. Tanpa malu-malu lagi aku memegang
penis yang sudah sangat tegang itu dan segera membenamkannya ke dalam mulutku.
Kemudian aku mulai mengulum penis Pak Jono yang hanya masuk sebagian hingga
pipiku terlihat cekung ke dalam. Aku sempat melirik ke arah Pak Wawan dan Pak
Bara sudah duduk memakai celana panjang mereka sambil menghisap rokok dan
meminum kopi dengan tontonan mereka yang lebih seru dari cara TV, yaitu aku
yang sedang dikerubuti oleh dua orang lelaki berkulit hitam alias Pak Diman dan
Pak Jono.
Baru beberapa menit aku
melakukan oral seks Pak Jono……………….
“Dik Panduuu! Bapaaak
keluaaaar… Oooooh… Enaaak…” ‘Croot… Crooot… Croooot’ semburan hangat sperma Pak
Jono pun keluar di dalam mulutku hingga membasahi kerongkongan.
Seperti sudah ketagihan,
aku terus melahap, menjilati dan mengulum penis itu hingga bersih dari
sisa-sisa sperma yang masih menetes.
“Lho kok Pak Jono udah
keluar aja? Masa kalah sama sepongannya Dik Pandu ? Gimana kalo sama memeknya
yang seret Pak…” kata Pak Bara dengan nada sedikit mengejek disambung tawa Pak
Wawan yang duduk di sebelahnya.
Pak Jono hanya tersenyum
malu tanpa berkata apa-apa. Sementara itu Pak Diman masih terus menggenjot
penisnya ke dalam anusku dengan sangat perlahan dan mencabutnya dengan cepat.
Saat itu yang terdengar hanyalah suara pompaan penis serta suara desahan
nafasku dan Pak Diman yang saling memburu. Sodokan demi sodokan Pak Diman
benar-benar luar biasa, seolah memompa gairahku.
“Sa-sayaaa mau keluaaaar
Dik…!!” erang Pak Diman ketika memuntahkan lahar putihnya di dalam anusku.
Dalam anusku kini terasa
hangat oleh semburan sperma milik Pak Diman. Kini daerah sekitar liang anusku
yang sudah basah semakin banjir saja oleh sperma, sampai-sampai cairan itu
meleleh di kedua pahaku.
“Eeeeemmhhhh…” nafasku
tersengal-sengal.
Begitu juga dengan Pak
Diman dan Pak Jono yang sudah menuntaskan nafsu setan mereka kepadaku. Sambil
mengatur nafas, Pak Jono menciumi tengkuk leherku dengan lembut sedangkan Pak
Diman yang tadinya ingin melumat bibirku, namun aku menolaknya karena aku mau
mengatur nafasku dulu, mulai menjilati leherku yang penuh dengan butiran
keringat. Setelah nafas kami bertiga sudah normal kembali, mereka berdua
berjalan untuk mengambil pakaiannya masing-masing. Sedangkan aku berdiri dan
bersiap memakai kaos serta celana boxer-ku yang berserakan di depan TV yang
sudah tidak menayangkan acara bola lagi.
“Udah dulu yah
Bapak-Bapak. Saya mau pulang dulu…” aku pamit kepada mereka semua yang masih
terlihat kelelahan.
“Jangan pulang dulu dong
Dik Pandu !” Pak Wawan melarangku pergi sambil memegang tanganku. “Emangnya
Bapak-Bapak masih belum puas?” tanyaku.
“Iya!!” jawab mereka
hampir bersamaan.
“Tapi kan Bapak-Bapak udah
pada lemes kayak gitu. Lagian saya udah capek banget nih…” kataku.
“Bentaran juga udah kuat
lagi kok Dik…” kata Pak Bara yang sepertinya masih belum cukup puas karena dia
memang belum merasakan bersetubuh denganku.
“Aduh gimana ya? Udah
malem banget nih Pak…” aku berusaha mencari alasan untuk menolak permintaan
mereka.
“Ayo dong! Dik Pandu mau
kan?” pinta Pak Bara memelas.
“Bapak kan juga belom
ngerasain ngentot sama Dik Tita…” sambung pak Jono lagi.
“Ya udah boleh deh. Asal Bapak-Bapak janji
nggak akan cerita hal ini sama orang lain ya. Biar jadi rahasia kita berlima
aja. Gimana?” tanyaku.
“Yah kalo itu mah nggak
usah disuruh Dik! Masak Bapak mau bilang-bilang sih…” jawab Pak Bara
menyanggupi.
Karena terlanjur
menyanggupi permintaan mereka, aku yang baru mengenakan celana dalamku mulai
melepaskannya lagi, hingga kini tubuhku sudah dalam keadaan bugil. Penis milik
Pak Bara, Pak Diman, Pak Bara dan Pak Jono yang tadinya sudah dalam keadaan
lemas mulai mengeras lagi karena melihat tubuhku yang mulusku yang tidak
tertutup sama sekali. Kemudian aku mulai memanggil mereka satu per satu dan
membiarkan liang anusku menjadi bulan-bulanan lidah mereka. Bahkan ketika
masing-masing sudah mendapatkan jatah untuk mencicipi lobang pantatku, mereka
berempat kembali menjilati seluruh tubuhku sehingga berlumuran air liur mereka.
“Mulai lagi yuk Dik..…”
pinta Pak Bara tidak sabaran.
“Silakan Bapak-Bapak nikmatin tubuh saya
sepuasnya…” kataku mengijinkan.
Lalu dimulailah
pelampiasan nafsu bejat keempat orang pria tua terhadapku. Kali ini aku
disetubuhi oleh keempat Bapak-Bapak itu secara bergiliran. Mulai dari Pak Bara,
Pak Jono lalu Pak Diman dan yang terakhir oleh Pak Wawan. Mereka juga menikmati
tubuhku dengan berbagai posisi. Karena mereka sangat menikmati himpitan pantatku
serta teknik oral seks-ku, maka mulai dari anusku, mulut bahkan seluruh tubuhku
terus-menerus disemprot sperma oleh mereka berempat. Aku mengalami dua kali mengalami
orgasme. Setelah sudah benar-benar kelelahan, kami yang masih dalam keadaan
bugil beristirahat sembari minum dan mengobrol.
“Dik, kan dari tadi peju
kami semua dikeluarin di dalem. Apa Dik Pandu nggak takut hamil?” tanya Pak Bara
yang paling banyak menyemprotkan spermanya di dalam anusku di tengah obrolan
kami.
“Aku-kan cowok, Pak…..mana
bisa hamil.” kataku sambil tersenyum.
“Emang loe ada-ada aja,
Bar….dia-kan cowok mana bisa hamil…” tompal Pak Diman.
Lalu kami berlima ketawa
terbahak-bahak………….
“Bapak-Bapak, saya pamit
pulang yah. Udah malam banget nih…” ujarku seraya melihat jam di HP-ku yang
sudah menunjukkan pukul 12 malam.
“Tapi kapan-kapan Dik Pandu
mau nemenin kami lagi kan?” tanya Pak Diman.
“Boleh aja Pak. Asalkan
yang lagi jaga Bapak-Bapak berempat…” jawabku sambil memakai kaosku.
“Gampang! Itu mah bisa
Bapak atur!” jawab Pak Wawan yang memang bertugas mengatur jadwal jaga.
“Tapi jangan keseringan ya
Pak! Lama-lama saya bisa hamil dong…” candaku.
“Pokoknya beres deh Dik!”
jawab Pak Bara.
“Ya udah saya pulang dulu
ya Bapak-Bapak…” kataku sambil bergegas keluar pos jaga karena takut mereka
ingin menikmati tubuhku lagi.
“Hati-hati ya Dik…” kata
mereka serempak.
Aku pun langsung berlari
kecil menuju rumah karena suasana di sekitar rumahku sudah sangat sepi dan
gelap. Di perjalanan pulang aku sempat mengingat kejadian yang baru aku alami
adalah pengalaman yang sungguh memuaskan. Pada dasarnya aku memang sangat menikmati
seks keroyokan seperti tadi, apalagi ditambah yang menyetubuhiku adalah
Bapak-Bapak yang sudah sangat berpengalaman. Setibanya di rumah aku melihat
lampu sudah gelap dan tidak terdengar lagi suara TV menyala.
“Sepertinya semuanya udah
pada tidur…” kataku dalam hati.
Aku memaklumi karena
sekarang sudah lewat tengah malam. Setelah mengunci pintu gerbang dan pintu
depan, aku langsung menuju ke kamar mandi untuk membasuh tubuhku yang
bermandikan sperma. Setelah selesai berganti pakaian, aku merebahkan tubuhku
yang sangat lelah setelah hampir 2 jam dinikmati oleh Bapak-Bapak tadi.
Untunglah besok hari Sabtu, sehingga aku bisa istirahat seharian penuh. Tak
butuh waktu lama aku pun tertidur dengan pulas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar